ALIRAN FILSAFAT PERENIALISME DALAM PENDIDIKAN
PENDAHULUAN
Filsafat dalam bahasa Arab falsafah yang dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah philosophy
yang berasal dari bahasa Yunani philosophia
yang terdiri dari kata philein yang
berarti cinta (love) dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom),
sehingga secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti yang sedalam-dalamnya (Surajiyo, 2008:3). Sebagian lain mengatakan bahwa filsafat adalah cinta akan kebenaran. Filsafat sering pula diartikan sebagai pandangan hidup (Barnadib, 1994:11). Dalam dunia pendidikan, filsafat mempunyai peranan yang sangat besar. Karena, filsafat yang merupakan pandangan hidup itu menentukan arah dan tujuan proses pendidikan.
sehingga secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti yang sedalam-dalamnya (Surajiyo, 2008:3). Sebagian lain mengatakan bahwa filsafat adalah cinta akan kebenaran. Filsafat sering pula diartikan sebagai pandangan hidup (Barnadib, 1994:11). Dalam dunia pendidikan, filsafat mempunyai peranan yang sangat besar. Karena, filsafat yang merupakan pandangan hidup itu menentukan arah dan tujuan proses pendidikan.
Filsafat dan pendidikan memiliki hubungan yang erat,
karena pada hakekatnya pendidikan adalah proses pewarisan dari nilai-nilai
filsafat dan filsafat itu adalah teori umum dari pendidikan, landasan dari
semua pemikiran mengenai pendidikan (Dewey, 1946:383). Dalam pendidikan
diperlukan bidang filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan sendiri adalah ilmu
yang mempelajari dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah
pendidikan yang bersifat filosofis. Secara filosofis, pendidikan adalah hasil
dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus dikembangkan berdasarkan
cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu
kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya.
Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran filosofis
tentang sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan persoalan masing-masing
filosofis akan menggunakan teknik atau pendekatan yang berbeda, sehingga
melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula. Perbedaan ini dapat
disebabkan oleh latar belakang pribadi filosofis tersebut, pengaruh zaman,
kondisi atau alam pikiran para filosofis. Dari perbedaan itu kemudian lahirlah
aliran-aliran atau sistem filsafat.
Di zaman
kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan
manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis
ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar yaitu berupa kembali kepada
kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya.
Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya
kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang
pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan
ideal yang telah teruji dan tangguh. Dengan kata lain pendidikan yang ada
sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan
keadaan masa lampau ini, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi
melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada
pendidikan zaman dahulu dengan sekarang.
Perenialisme
memandang pendidikan itu sebagai jalan kembali yaitu sebagai suatu proses
mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman modern) ini terutama pendidikan zaman
sekarang ini perlu dikembalikan kemasa lampau.
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, dimana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat pendidikan.
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, dimana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat pendidikan.
Setelah
perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri yang cukup
berat timbulah usaha untuk bangkit kembali, dan perenialisme berharap agar
manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat
sebagai suatu asas yang komprehensif Perenialisme dalam makna filsafat sebagai
satu pandangan hidup yang bcrdasarkan pada sumber kebudayaan dan
hasil-hasilnya.
Dari uraian di atas, maka yang menjadi batasan kajian dalam masalah ini
diantaranya membahas pengertian aliran perenialisme,
tokoh-tokoh aliran perenialisme, dan konsep dasar/pandangan perenialisme.
PEMBAHASAN
A.
Aliran
Perenialisme
Perenialisme
merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke-20.
Perenialisme lahir dari suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialis
menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang
baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,
ketidakpastian, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosiokultural.
Solusi
yang ditawarkan kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang dengan
menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi
pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Peradaban – kuno (Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap sebagai dasar
budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa dari abad keabad (Sa’dullah,
2009:151).
Pandangan-pandangan
yang telah menjadi dasar budaya manusia tersebut, telah teruji kemampuan dan
kekukuhan oleh sejarah. Pandangan-pandangan Plato dan Aristoteles mewakili
peradapan Yunani Kuno, serta ajaran Thomas Aquina dari abad pertengahan. Kaum
perenialis percaya bahwa ajaran dari tokoh-tokoh tersebut memiliki kualitas
yang dapat dijadikan tuntutan hidup dan kehidupan manusia pada abad ke dua
puluh ini.
Mohammad
Noor Syam (1984) mengemukan pandangan perenialisme, bahwa pendidikan harus
lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah
teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan
kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam
kebudayaan ideal. Perenialisme tidak melihat jalan yang menyakinkan selain,
kembali pada prinsip-prinsip yang telah sedemikian rupa membentuk suatu sikap
kebiasaan, bahwa kepribadian manusia yaitu kebudayaan dahulu (Yunani Kuno).
Menurut Ali Saifullah,
aliran perenialisme termasuk dalam kategori filsafat pendidikan
akademis-skolastik. Kategori ini meliputi dua kelompok yakni aliran
perenialisme sendiri, essensialisme, idealisme dan realisme, dan kelompok progressif
meliputi progresivisme, rekonstruksionisme dan eksistensialisme.
Perenialisme diambil
dari kata perennial, yang diartikan sebagai continuing throughout the
whole yearatau lasting for a very long time, yang bermakna
abadi atau kekal. Dari makna tersebut mempunyai maksud bahwa Perenialisme
mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma
yang bersifat kekal dan abadi (Khobir, 2009:62). Perenialisme memberikan
pemecahan dengan jalan regressive road to culture, yaitu jalan
kembali atau mundur kepada kebudayaan lama (masa lampau), kebudayaan yang
dianggap ideal dan telah teruji ketangguhannya. Disinilah pendidikan mempunyai
peranan yang penting dalam rangka mengembalikan keadaan manusia modern kepada
kebudayaan masa lampau yang ideal tersebut.
Perenialisme
mempunyai ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri itu adalah (Sadullah Uyoh,2004:23) :
1)
Perenialisme
berakar pada tradisi filosofis klasik yang dikembangkan oleh plato, Aristoteles
dan Santo Thomas Aquines.
2)
Sasaran
pendidikan ialah kemampuan menguasai prinsip kenyataan, kebenaran dan
nilai-nilai abadi dalam arti tak terikat oleh ruang dan waktu.
3)
Nilai
bersifat tak berubah dan universal.
4) Bersifat
regresif (mundur) dengan memulihkan kekacauan saat ini melalui nilai zaman pertengahan
(renaissance).
B.
Latar Belakang Munculnya Aliran
Perenialisme
Teori
kependidikan kalangan perenialis mencuat sebagai sebuah pemikiran formal
(resmi) pada dekade 1930-an sebagai bentuk reaksi terhadap kalangan progresif.
Perenialisme modern secara umum menampilkan sebuah penolakan besar-besaran
terhadap cara pandang progresif. Bagi kalangan perenealis, permanensi
(keajegan), meskipun pergolakan-pergolakan politik dan sosial yang sangat
menonjol, adalah lebih riil (nyata) dari pada konsep perubahan kalangan
pragmatis. Dengan demikian kalangan perenialis mempelopori gerakan kembali pada
hal-hal absolut dan memfokuskan pada ide-gagasan yang luhur (menyejarah dari
budaya manusia), ide-gagasan ini telah terbukti keabsahan dan kegunaannya
karena mampu bertahan dari ujian waktu. Perenialisme menekankan arti penting
akal budi, nalar, dan karya-karya besar pemikir masa lalu (George, 2007:165)
Oleh
karena itu perenialisme memandang pendidikan adalah sebagai jalan kembali, atau
proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal
dimaksud, “education as cultural regression.” Perenialisme tak melihat jalan
yang meyakinkan selain kembali kepada prinsip-prinsip yang telah sedemikian
membentuk sikap kebiasaan, bahkan kepribadian manusia selain kebudayaan dulu
dan kebudayaan abad pertengahan (Opcit, 2005:63)
C. Tokoh-Tokoh
Aliran Perenialisme
1)
Plato
Plato (427-347
SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu
filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral merupakan sofisme adalah
manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam
moral, tidak ada kepastian dalam kebenaran, tergantung pada masing-masing
individu. Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak
berubah. Realitas atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada pada diri manusia
sejak dari asalnya, yang berasal dari realitas yang hakiki. Menurut Plato,
“dunia ideal”, bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan,
dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang semuanya bersumber dari ide yang
mutlak tadi. Manusia tidak mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran,
pengetahuan, dan nilai moral, melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya
itu. Dengan menggunakan akal dan rasio, semuanya itu dapat ditemukan kembali
oleh manusia.
2)
Aristoteles
Aristoteles
(384-322 SM), adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap
filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realism
(realism klasik). Cara berfikir Aristoteles berbeda dengan gurunya, Plato, yang
menekankan berfikir rasional spekulatif. Aristoteles mengambil cara berfikir
rasional empiris realitas. Ia mengajarkan cara berfikir atas prinsip realitas,
yang lebih dekat dengan alam kehidupan manusia sehari-hari.
Aristoteles
hidup pada abad keempat sebelum Masehi, namun ia dinyatakan sebagai pemikir
abad pertengahan. Karya-karya Aristoteles merupakan dasar berfikir abad
pertengahan yang melahirkan renaissance. Sikap positifnya terhadap inkuiry
menyebabkan ia mendapat sebutan sebagai Bapak Sains Modern. Kebajikan akan
menghasilkan kabahagiaan dan kebajikan, bukanlah pernyataan pemikiran atau
perenuangan pasif, melainkan merupakan sikap kemauan yang baik dari manusia.
Menurut Aristoteles,
manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia
menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan
sosial. Sebagai makhluk rohani manusia sadar akan menuju pada proses yang lebih
tinggi yang menuju kepada manusia ideal, manusia sempurna. Manusia sebagai
hewan rasional memiliki kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam
alam materi sehingga akan menuju pada derajat yang lebih tinggi, yaitu
kehidupan yang abadi, alam supernatural.
3)
Thomas
Aquina
Thomas Aquina
ini mempunyai pandangan bahwa pendidikan adalah menarik atau menuntun
kemampuan-kemampuan yang masih tidur menjadi aktif dan nyata yang timbul dan
bergantung dari kesadaran-kesadaran yang mendukungnya pada tiap-tiap individu.
Tuntunan yang
berasal dari guru kepada anak didik berwujud sebagai bahan pengajaran, yang
berfungsi untuk membantu substansi manusia untuk berkembang dan kaya akan
pengalaman-pengalaman yang berasal dari luar. Sedangkan tugas seorang guru
dapat dianalogikan dengan seorang dokter.
Guru adalah
penghubung antara kebenaran-realita tertinggi dengan anak didik sebagai makhluk
yang selalu berusaha untuk mengerti dan menginsyafi perihal realita dengan
segala macam bentuk dan tingkat-tingkatnya. Dokter membantu organisme yang
sakit atau luka dalam tendensi herensinya untuk menyembuhkan diri sendiri
(Barnadib, 1998:73).
Pandangan
menurut Thomas Aquinas ini mencoba mempertemukan suatu pertentangan yang
muncul pada waktu itu, yaitu antara ajaran Kristen dengan filsafat (sebetulnya
dengan filsafat Aristoteles, sebab pada waktu itu yang dijadikan dasar
pemikiran logis adalah filsafat neoplatonisme dari Plotinus yang dikembangkan
oleh St. Agustinus. Menurut Aquina, tidak terdapat pertentangan antara filsafat
(khususnya filsafat Aristoteles) dengan ajaran agama (Kristen). Keduanya dapat
berjalan dalam lapangannya masing-masing. Thomas Aquina secara terus menerus
dan tanpa ragu-ragu mendasarkan filsafatnya kepada filsafat Aristoteles.
Pandangan
tentang realitas, ia mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang ada, adanya itu
karena diciptakan oleh Tuhan, dan tergantung kepada-Nya. Ia mempertahankan
bahwa Tuhan, bebas dalam menciptakan dunia. Dunia tidak mengalir dari Tuhan
bagaikan air yang mengalir dari sumbernya, seperti halnya yang dipikirkan oleh
filosof neoplatonisme dalam ajaran mereka tentang teori “emanasi”. Thomas
aquina menekankan dua hal dalam pemikiran tentang realitannya, yaitu : 1) dunia
tidak diadakan dari semacam bahan dasar, dan 2) penciptaan tidak terbatas pada
satu saat saja, demikian menurut Bertens (1979).
Dalam masalah
pengetahuan, Thomas Aquina mengemukaan bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai
persentuhan dunia luar dan oleh akal budi, menjadi pengetahuan. Selain
pengetahuan manusia yang bersumber dari wahyu, manusia dapat memperoleh
pengetahuan dengan melalui pengalaman dan rasionya (disinilah ia mempertemukan
pandangan filsafat idealism, realism, dan ajaran gerejanya). Filsafat Thomas
Aquina disebut tomisme. Kadang-kadang orang tidak membedakan antara
perenialisme dengan neotonisme. Perenialisme adalah sama dengan neotonisme
dalam pendidikan
D. Konsep
Dasar / Pandangan Aliran Perenialisme
1.
Pandangan Ontologi Perenialisme
Ontologi perenialisme
terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individual, esensi, aksiden
dan substansi. Secara ontologis, perenialisme membedakan suatu realita dalam
aspek-aspek perwujudannya. Benda individual di sini adalah benda sebagaimana
yang tampak di hadapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indra seperti
batu, lembu, rumput, orang dalam bentuk, ukuran, warna, dan aktivitas tertentu.
Esensi dari suatu kualitas menjadikan suatu benda itu lebih intrinsik daripada
fisiknya, seperti manusia yang ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir.
Sedangkan aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan
sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensial.
Dengan demikian, segala
yang ada di alam semesta ini, seperti manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan,
merupakan hal yang logis dalam karakternya. Setiap sesuatu yang ada tidak hanya
merupakan kombinasi antara zat atau benda, tapi juga merupakan unsur
potensialitas dengan bentuk yang merupakan unsur aktualitas.
Sejalan dengan apa yang
dikatakan Poedjawijatna, bahwa esensi dari kenyataan itu adalah menuju ke arah
aktualitas, sehingga makin lama makin jauh dari potensialitasnya. Bila
dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap waktu adalah potensialitas
yang sedang berubah menjadi aktualitas. Dengan peningkatan suasana hidup
spiritual ini, manusia dapat makin mendekatkan diri menuju tujuan (teleologis)
untuk mendekatkan diri pada supernatural (Tuhan) yang merupakan pencipta dan
tujuan akhir.
2.
Pandangan Epistemologis
Perenialisme
Perenialisme berpangkal
pada tiga istilah yang menjadi asas di dalam epistemologi yaitu truth,
self evidence, dan reasoning. Bagi perenialisme truth
adalah prasyarat asas tahu untuk mengerti atau memahami arti realita semesta
raya. Sedangkan , self evidence adalah suatu bukti yang ada
pada diri (realita, eksistensi) itu sendiri, jadi bukti itu tidak pada materi
atau realita yang lain, pengertian kita tentang kebenaran hanya mungkin di atas
hukum berpikir (reasoning), sebab pengertian logis misalnya berasal dari
hukum-hukum berpikir.
Dalam pandangan
Perenialisme ada hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat, seraya
menyadari adanya perbedaan antara kedua bidang tersebut. Hubungan filsafat dan
pengetahuan tetap diakui urgensinya, sebab analisa-empiris dan analisa
ontologis keduanya dianggap Perenialisme dapat komplementatif meskipun ilmu dan
filsafat berkembang ke tingkat yang makin sempurna, namun tetap diakui bahwa
fisafat lebih tinggi kedudukannya daripada ilmu pengetahuan (Khobir, 2009:65).
3.
Pandangan Aksiologi Perenialisme
Masalah nilai merupakan
hal yang utama dalam Perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas-asas
supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku
manusia. Jadi, hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah jiwanya. Oleh
karena itu, hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatannya, dan
persoalan nilai adalah persoalan spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran
demikian bertahan dan tetap berlaku. Secara etika, tindakan itulah yang
bersesuaian dengan sifat rasional manusia, karena manusia itu secara alamiah
condong pada kebaikan.
Menurut Plato, manusia
secara kodrat memiliki tiga potensi: nafsu, kemauan, dan pikiran. Maka
pendidikan hendaknya berorientasi pada ketiga potensi tersebut dan pada
masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa
terpenuhi. Dengan demikian, hendaknya pendidikan disesuaikan dengan keadaan
manusia yang mempunyai nafsu, kemauan, dan pikiran. Dengan memperhatikan hal
ini, maka pendidikan yang berorientasi pada potensi dan masyarakat akan dapat
terpenuhi (Jalaluddin, 2007:117).
4.
Pandangan Perenialisme
Mengenai Kenyataan
Perenialisme
berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama ialah jaminan bahwa
realita itu bersifat universal dan ada di mana saja dan sama di setiap
waktu.Dengan keputusan yang bersifat ontologism kita akan sampai pada
pengertian pengerian hakikat. Ontologi perenialisme berisikan pengertian: benda
individual, esensi, aksiden dan substansi. Benda individual adalah benda yang
sebagaimana nampak di hadapan manusia yang dapat ditangkap oleh indera kita
seperti batu, kayu, dan lain-lain.
Esensi dari
sesuatu adalah suatu kualitas tertentu yang menjadikan benda itu lebih baik
intrinsik daripada halnya, misalnya manusia ditinjau dari esensinya adalah
berpikir Aksiden adalah keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya
kurang penting dibandingkan dengan esensialnya, misalnya orang suka
barang-barang antik. Substansi adalah suatu kesatuan dari tiap-tiap hal
individu dari yang khas dan yang universal, yang material dan yang spiritual.
Menurut
Plato, perjalanan suatu benda dalam fisika menerangkan ada 4 kausa, yaitu:
a. Kausa materialis yaitu bahan yang menjadi susunan
sesuatu benda misalnya telor, tepung dan gula untuk roti.
b. Kausa formalis yaitu sesuatu dipandang dari formnya,
bentuknya atau modelnya, misalnya bulat, gepeng.
c. Kausa efisien yaitu gerakan yang digunakan dalam
pembuatan sesuatu cepat, lambat atau tergesa-gesa.
d.
Kausa finalis adalah tujuan atau
akhir dari sesuatu. Katakanlah tujuan pembuatan sebuah patung.
5.
Pandangan Perenialisme
Mengenai Nilai
Perenialisme
berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat
manusia adalah pada jiwanya. Sedangkan perbuatan manusia merupakan pancaran isi
jiwanya yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan. Secara teologis, manusia
perlu mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai yang merupakan suatu kesatuan
dengan Tuhan. Untuk dapat sampai kesana manusia harus berusaha dengan bantuan
akal rationya yang berarti mengandung nilai kepraktisan.
Menurut
Aristoteles, kebajikan dapat dibedakan: yaitu yang moral dan yang intelektual.
Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang
merupakan dasar dari kebajikan intelektual.
Jadi,
kebajikan intelektual dibentuk oleh pendidikan dan pengajaran. Kebajikan
intelektual didasari oleh pertimbangan dan pengawasan akal. Oleh perenialisme
estetika digolongkan kedalam filsafat praktis. Kesenian sebagai salah satu
sumber kenikmatan keindahan adalah suatu kebajikan intelektual yang bersifat
praktis filosofis. Hal ini berarti bahwa di dalam mempersoalkan masalah
keindahan harus berakar pada dasar-dasar teologis, ketuhanan.
6.
Pandangan Perenialisme
Mengenai Pengetahuan
Kepercayaan
adalah pangkal tolak perenialisme mengenai kenyataan dan pengetahuan. Artinya
sesuatu itu ada kesesuaian antara piker (kepercayaan) dengan benda-benda.
Sedang yang dimaksud benda adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip
keabadian. Oleh karena itu, menurut perenialisme perlu adanya dalil-dalil yang
logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah atau ditolak kebenarannya. Menurut
Aristoteles, Prinsip-prinsip itu dapat dirinci menjadi:
a. Principium identitatis, yaitu
identitas sesuatu. Principium contradiksionis (prinsip
kontradiksionis), yaitu hukum kontradiksi (berlawanan). Suatu pernyataan pasti
tidak mengandung sekaligus kebenaran dan kesalahan, pasti hanya mengandung satu
kenyataan yakni benar atau salah.
b. Principium
exelusi tertii (principium ekselusi tertii), tidak ada
kemungkinan ketiga. Apabila pernyataan atau kebenaran pertama salah, pasti
pernyataan kedua benar dan sebaliknya apabila pernyataan pertama benar pastipernyataan
yang berikutnya tidak benar.
c. Principium rationis sufisientis. Prinsip
ini pada dasarnya mengetengahkan apabila barang sesuatu dapat diketahui asal
muasalnya pasti dapat dicari pula tujuan atau akibatnya.
Perenialisme mengemukakan adanya
hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat. Science sebagai ilmu
pengetahuan Science yang meliputi biologi, fisika, sosiologi, dan
sebagainya ialah pengetahuan yang disebut sebagaiempiriological analysis yakni
analisa atas individual dan peristiwa peristiwa pada tingkat pengalaman dan
bersifat alamiah. Science seperti ini dalam pelaksanaan
analisa dan penelitiannya mempergunakan metode induktif. Selain itu, juga
mempergunakan metode deduktif, tetapi pusat penelitiannya ialah meneliti dan
mencoba dengan data tertentu yang bersifat khusus.
Menurut perenialisme, fisafat yang
tertinggi ialah ilmu metafisika. Sebab, science dengan metode
induktif bersifat empiriological analysis (analisa empiris);
kebenarannya terbatas, relatif atau kebenarannya probability. Tetapi filsafat
dengan metode deduktif bersifat ontological analysis, kebenaran yang
dihasilkannya universal, hakiki, dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir
sendiri, berpangkal pada hukum pertama; bahwa kesimpulannya bersifat mutlak,
asasi. Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap diakui urgensinya, sebab analisa
empiris dan analisa ontology keduanya dianggap perenialisme dapat
komplementatif. Tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh
hukum-hukum dalam filsafat sendiri, tanpa tergantung kepada ilmu pengetahuan
(Mars, 2012:3).
7.
Pandangan Perenialisme Tentang
Belajar
Tuntutan tertinggi
dalam belajar menurut Perenialisme, adalah latihan dan disiplin mental. Maka,
teori dan praktik pendidikan haruslah mengarah kepada tuntutan tersebut.
Menurut Barnadib (1997:76) teori dasar dalam belajar menurut Perenialisme
terutama:
a. Mental
dicipline sebagai teori dasar
Menurut
Perenialisme latihan dan pembinaan berfikir (mental dicipline) adalah
salah satu kewajiban tertinggi dalam belajar. Karena program yang diadakan
dalam lembaga pendidikan adalah untuk pembinaan berpikir (Khobir, 2009:66).
b. Rasionalitas
dan Asas Kemerdekaan
Asas
berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan, otoritas
berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Kemerdekaan pendidikan
hendaknya membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri (essential self)yang
membedakannya dari makhluk yang lain.
c. Learning
to Reasson (Belajar untuk berpikir)
Perlu
adanya penanaman pembiasaan pada diri anak sejak dini dengan kecakapan membaca,
menulis, dan berhitung. Dari sini, belajar untuk berpikir menjadi tujuan pokok
sekolah menengah dan universitas.
Learning
to Reasson (Belajar untuk berpikir)Sekolah bukanlah
merupakan situasi kehidupan yang nyata. Sekolah bagi anak merupakan
peraturan-peraturan dimana ia bersentuhan dengan hasil yang terbaik dari
warisan sosial budaya.
d. Learning
through teaching (Belajar melalui pengajaran).
Fungsi
guru menurut Perenialisme berbeda dengan essensialisme. Menurut essensialisme
guru sebagai perantara antara bahan dengan anak yang melakukan proses
penyerapan. Dalam pandangan Perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara
dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses
belajar mengajar (Ibid, 69).
5.
Pandangan Perenialisme Mengenai
Hakikat Guru
Tugas utama dalam
pendidikan adalah guru-guru, di mana tugas pendidikanlah yang memberikan
pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan
anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah
mendidik dan mengajarkan. Berikut pandangan aliran perenialisme mengenai guru
atau pendidikan:
1)
Guru mempunyai peranan dominan dalam
penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di kelas.
2)
Guru hendaknya orang yang menguasai
suatu cabang ilmu, seorang guru yang ahli (a master teacher) bertugas
membimbing diskusi yang akan memudahkan siswa menyimpulkan kebenaran-kebenaran
yang tepat, dan wataknya tanpa cela. Guru dipandang sebagai orang yang memiliki
otoritas dalam suatu bidang pengetahuan dan keahliannya tifdak diragukan.
6.
Pandangan Perenialisme Mengenai
Hakikat Murid
Murid
dalam aliran perenialisme merupakan makhluk yang dibimbing oleh prinsip-prinsip
pertama, kebenaran-kebenaran abadi, pikiran mengangkat dunia biologis. Hakikat
pendidikan upaya proses transformasi pengetahuan dan nilai kepada subyek didik,
mencakup totalitas aspek kemanusiaan, kesadaran, sikap dan tindakan kritis
terhadap seluruh fenomena yang terjadi di sekitarnya. Pendidikan bertujuan
mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang
melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional; perasaan dan indera.
Karena itu pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya:
spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara
individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah
kebaikan dan mencapai kesempurnaan.
7.
Pandangan Perenialisme Mengenai
Pendidikan
Pendidikan
menurut filsafat ini mesti membangun sejumlah mata pelajaran yang umum,
bukan spesialis, liberal bukan vokasionalis, yang humanistik bukan teknikal.
Dengan cara inilah pendidikan akan memenuhi fungsi humanistiknya, yakni
pembelajaran secara umum yang mesti dimiliki oleh manusia (Alwasilah,
2008:104). Sebagai filsafat pendidikan umumnya, filsafat pendidikan
Perenialisme juga mempengaruhi sekolah-sekolah modern sekarang, dimana
pandangan-pandangan kurikulumnya mempengaruhi praktik pendidikan.
1)
Pendidikan Dasar dan (Sekolah) Menengah
a.
Pendidikan sebagai persiapan
Perbedaan
Progresivisme dengan Perenialisme terutama pada sikapnya tentang “education
as preparation”. Perenialisme berpendapat bahwa pendidikan adalah
persiapan bagi kehidupan di masyarakat. Dasar pandangan ini berpangkal pada
ontologi, bahwa anak ada dalam fase potensialitas menuju aktualitas, menuju
kematangan.
b.
Kurikulum Sekolah Menengah
Prinsip kurikulum pendidikan dasar,
bahwa pendidikan sebagai persiapan, berlaku pula bagi pendidikan menengah.
Perenialisme membedakan kurikulum pendidikan menengah antara program,“general
education” dan pendidikan kejuruan, yang terbuka bagi anak 12-20 tahun
(Khobir, 2009:68)
2)
Pendidikan Tinggi dan Adult Education
a.
Kurikulum Universitas
Program “General Education”
dipersiapkan untuk pendidikaan tinggi dan adult education. Pendidikan tinggi
sebagai lanjutan pendidikan menengah dengan program general education yang
telah selesai disiapkan, bagi umur 21 tahun sebab dianggap telah cukup
mempunyai kemampuan melaksanakan program pendidikan tinggi.
b.
Kurikulum Pendidikan Orang Dewasa (Adult
Education)
Tujuan pendidikan orang dewasa
adalah meningkatkan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam pendidikan lama
sebelum itu, menetralisir pengaruh-pengaruh jelek yang ada. Nilai utama
pendidikan orang dewasa secara filosofis ialah mengembangkan sikap bijaksana
guna mereorganisasi pendidikan anak-anaknya, dan membina kebudayaannya (Ibid,
67).
PENUTUP
Kesimpulan
Aliran Perenialisme
adalah merupakan aliran dalam filsafat pendidikan yang memandang bahwa kepercayaan
aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar pendidikan
sekarang.
Pandangan aliran ini
tentang pendidikan adalah “belajar untuk berpikir”. Oleh sebab itu, peserta
didik harus dibiasakan untuk berlatih berpikir sejak dini. Perenialisme juga
memiliki formula mengenai jenjang pendidikan beserta kurikulum, yaitu
pendidikan dasar dan (sekolah) menengah, pendidikan tinggi dan adult
education.
Saran
Tidak
semuanya pandangan modern baik untuk pendidikan, akan tetapi kita tetap perlu
melihat kondisi masa lalu yang dianggap tradisional atau klasik. Pengetahuan
dasar tradisional seperti belajar membaca, berhitung, budi pekerti (akhlakul
karimah) perlu diberikan kepada anak didik di zaman modern agar tujuan
pendidikan dapat tercapai.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Khobir.
2009. Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN
Press.
Alwasilah,
Chaedar. 2008. Filsafat: Bahasa Dan Pendidikan. Bandung: Rosda
Karya.
Barnadib, Imam.
1994. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: ANDI
OFFSET.
Barnadib, Imam.
1997. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: ANDI
OFFSET.
Jalaluddin
dan Abdullah Idi. 2007. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media.
Surajiyo. 2008. Filsafat Imu dan Perkembangannya di
Indonesia: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Uyoh,
Sadullah. 2004. Pengantar
Filsafat Pendidikan. Bandung: Al Fabeta.
Mars.
2012. Perenialisme. Diunduh pada
tanggal 13 Desember 2013[online] melalui http://marsability.blogspot.com/2012/08/perenialisme.html
0 komentar:
Posting Komentar